RESENSI BUKU
JUDUL BUKU :
Kuasa Terselubung Dari Pelecehan Spiritual
Penulis :
David Johnson dan Jeff Van Vonderen
Penerbit :
Nafiri Gabriel, Jakarta
Tahun Terbit :
2000
Jumlah Halaman :
357 Halaman
Warna Cover :
RINGKASAN
Pelecehan bukan hanya berlaku di luar gereja,
pada kenyataanya pelecehan juga terdapat dalam gereja, yang sifatnya
terselubung dan jarang muncul kepermukaan bahkan ada banyak orang yang tidak
sadar tentang adanya pelecehan dalam gereja. Pelecehan bukan lagi istilah yang
hanya berlaku bagi dunia di luar gereja.
Dalam buku ini penulis menjelaskan bahwa dalam
gereja telah terjadi pelecehan baik itu yang diketahui maupun yang terselubung
dan jarang di bicarakan atau diangkat kepermukaan. Pelecehan bukan hal yang
baru dan menurut penulis yang sering menjadi subjek serta jemaat sebagai objek
dari pelecehan. Penulis mengungkapkan bahwa terkadang para pemimpin
terperangkap sebagai pelaku pelecahan, karena berbagai factor yang biasanya
masalah jabatan, beban agama, citra seorang pemimpin yang harus dipertahankan.
Buku ini dibagi kedalam tiga bagian, bagian pertama menjelaskan tentang
pelecehan dan korban-korbannya, bagian kedua membahas tentang para pemimpin
sebagai pelaku pelecehan dan bagaimana mereka bisa terperangkap. Bagian ketiga
Penyembuhan pasca pelecehan.
Bagian pertama dipaparkan pengertian pelecehan
yaitu perlakuan yang salah terhadap seseorang yang membutuhkan pertolongan,
dukungan atau bantuan spiritual yang lebih besar sehingga menyebabkan
melemahnya, menurun, atau merosotnya kehidupan
spiritual orang tersebut. Pelecehan spiritual bisa terjadi bila seseorang
pemimpin menggunakan posisi spiritualnya
untuk mengendalikan atau
mendominasi orang lain. Pelecehan spiritual juga bisa terjadi bila spiritual
dipakai untuk membuat orang lain hidup menurut suatu standar spiritual. Menurut penulis istilah yang dipakai yaitu
“pelecehan” bukanlah sebuah istilah yang kasar karena menurut pengalamannya
penggunaan “pelecehan” dalam bidang konseling dibenarkan dan istilah ini bukan
untuk mencemarkan nama orang lain. Sebagai sesuatu yang bukan baru lahir,
pelecehan telah mewarnai kisah dalam Perjanjian baru, dengan memakai istilah
Ular beludak (Matius 12:34), Serigala yang buas (Matius 7:15), Legalisme (Gal
6:12-13).
Biasanya
yang menjadi korban pelecehan spiritual adalah orang yang mengembangkan citra
diri yang salah, memiliki masalah berhubungan dengan otoritas spiritual,
memiliki kesulitan mengenai kepercayaan. Dll. Jebakan yang yang sering terjadi
dalam pelecehan adalah, perasaan malu yang mencolok, berfokus pada prestasi,
penyembahan berhala. Sistem yang bersifat melecehkan adalah sikap seorang
pemimpin yang yang berpusat pada
otoritas sendiri dan mengingatkan orang lain tentang hal itu, terikat oleh prestasi,
aturan-aturan yang tidak diucapkan, kurang seimbang.
Dengan jebakan-jebakan tersebut akhirnya tidak
bisa keluar. dalam pelecehan spiritual selalu berhubungan dengan pemakaian
ayat-ayat Alkitab yang tidak pada konteksnya. Menggunakan ayat-ayat Alkitab
untuk dapat mengetahui “tekhnik-tehnik” berbuat benar sehingga berkat Allah
tercurah. Memakai ayat supaya jemaat dapat melakukan sesuatu yang menjadi
keberhasilan secara rohani. Hidup benar dengan Allah bisa dicapai dengan
menjalani Taurat. Allah tidak memberikan hokum taurat sehingga orang bisa
berhubungan dengan Allah berdasarkan tingkah lakunya yang sejalan dengan hokum
taurat.
Menurut buku ini ada tiga alasan mengapa Allah
memberikan Hukum Taurat, pertama: supaya kita dapat melihat bahwa kita telah
berdosa, kedua meyakinkan bahwa kita tidak berdaya dengan usaha-usaha kita
mencapai sasaran, ketiga membawa kita masuk ke dalam hubungan yang berlimpah
kasih karunia dengan Allah atas dasar karya-Nya sendiri melalui Kristus. Hukum taurat adalah penuntun (tutor) kepada
Kristus. Setelah samapi kepada Yesus tidak perlu hokum Taurat.
Bagian kedua para pemimpin yang melakukan
pelecehan spiritual. Banyak pemipin yang legalistic mengendalikan bahkan
melecehkan yang telah kehilangan pandangan, atau tidak pernah mengalami hidup
dalam kasih karunia. Biasanya yang sering menjadi alasan pemimpin adalah kerena
dia seorang pendeta yang diberikan otoritas oleh Allah, sehingga harus
didengarkan serta memiliki kuasa. Penulis memaparkan beberapa hal dengan
memakai kasus yang terjadi dalam gereja yang merupakan tindakan pelecehan
spiritual yamg salah satunya dengan
penggunaan ayat Alkitab yang tidak sesuai dengan konteksnya untuk dijadikan
sebagai dasar dalam menguatkan suatu kebenaran.
Pelecehan merupakan suatu perangkap dan jarang
orang bisa keluar dari dalamnya, bahkan banyak jemaat yang takut untuk
mengekpos bahwa telah terjadi pelecahan terhadap dirinya karena berbagai
alasan. Cara-cara pelecehan sampai hari ini tetap sama yaitu: adanya pengabaian
terhadap kebutuhan yang sesungguhnya demi terpenuhinya « kebutuhan »
otoritas, kemudian legalisme menggantikan kelegaan di dalam Allah dengan
tuntutan prestasi spiritual.
Dalam bagian ini meyingkapkan kepada kita
masalah lain dalam menempatkan beban tuntutan yang berat keatas diri
orang-orang yang sedang bergumul dengan cara menyalahgunakan atau melecehkan
ayat-ayat Alkitab, bukannya menggunakan Firman Tuhan sebagai sebilah pedang
untuk menusuk atau membedakan pertimbangan dan pikiran kita, banyak pemimpin
rohani telah menggunakannya sebagai sebuah tongkat untuk mencegah orang lain,
karena berbagai alasan untuk mencegah orang lain menyerahkan tanggung jawab kepada mereka; untuk
membenarkan doktrin yang mendasari seluruh pelayanan; untuk mempertahankan
pemasukan dana; untuk membangun kerajaan-kerajaan religius dengan tujuan
mendukung harga diri spiritual mereka sendiri. Para pemimpin mengukur
kerohanian dengan ketaatannya pada program-program gereja.
Bagian ketiga dari buku menjelaskan bagaimana
melepaskan diri dari perangkap pelecehan spiritual. Ia mengganggap bahwa
system bersifat nelecehkan spiritual
adalah suatu perangkap spiritual, ia menjelaskan bahwa perangkap adalah sesuatu
yang mudah masuk dan sulit keluar, sehingga butuh cara yang tepat untuk bisa
keluar. Respon pertama adalah keluar dan kedua berjuang. Ia memberikan beberapa
cara seperti pembaharuan pikiran, kembali kepada focus yang benar
Para pemimpin tidak lagi memberikan dirinya
untuk kesejahteraan kawanannya, tetapi sebaliknya para pemimpin
memamfaatkan kawanannya untuk
kesehjahteraan dirinya sendiri. Para pemimpin bukanya menggunakan kekuatan,
ototritas dan pengetahuan mereka untuk membangun, melindungi, dan merawat,
tetapi sebaliknya mereka menggunakan kualitas-kualitas itu untuk mengamankan
kekuasaaan, kendali, dan pengukuhan mereka sendiri. Penulis memberi jalan keluar untuk keluar dari
perangkap pelecahan yang sedang terjadi.
TANGGAPAN TERHADAP BUKU
A. Kelebihan
a. Sistematis
Dalam penyajiannya, penulis memaparkan secara
sistematis dengan membagi tulisan ini dalam tiga bagian, yaitu bagian pertam
penulis memaparkan tentan seluk beluk pelecehan spiritual dan korban-korbanya,
bagian kedua penulis memaparkan tentang pelaku pelecehan dan alas an-alasan
terjadi pelecahan, serta dibagian ketiga yaitu bagian akhir ia memaparkan
solusi untuk keluar dari pelecehan Spiritual.
b. Tata Bahasa
Bahasa yang digunakan sederhana dan mudah
dimengerti oleh pembaca, sehingga buku ini dapat dikomsumsi oleh semua
kalangan. Tidak terlalu banyak menggunakan istlah-istilah asing.
c. Penyampaian
Dalam penyajian penulis mengungkapkan dengan
fakta-fakta yang ada, ia memakai kasus-kasus yang sudah terjadi di dalam
gereja. Ia berusaha meyakinkan bahwa masalah ini tidak dapat dibiarkan dengan
penyajikan kasus-kasus yang tidak bisa dianggap sepele dan dapat dihiraukan.
Fakta yang ada membuat buku ini dapat di pertanggungjawabkan dan lebih
meyakinkan pembaca tentang telah terjadinya pelecehan dalam lingkungan gereja.
Kelemahan
Penulis menjelaskan dalam uraiannya bahwa
keselamatan hanya kasih karunia, bukan karena usaha kita, ia menjelaskan
pelecehan terjadi dengan orang menambahkan keselamatan dengan perbuatan baik
yaitu setelah beban dosa disingkirkan demi keselamatan, kemudian kita memikul
muatan perbuatan pribadi untuk penyucian, pelayanan, menerima berkat yang lebih
lanjut (hlm 227).
Menurut pendapat saya pandangannya ini baik di
satu sisi bahwa tidak ada usaha manusia dalam hal keselamatan karena Allah yang
memberikan dengan cuma-cuma dan kita tidak dapat menambah sesuatupun untuk
keselamatan tersebut, tetapi bukan sampai disitu setelah kita selamat bukan
berarti akhir dari segalanya kerena Yesus juga berkata orang yang mngikut Dia
harus memikul salibnya. Dengan pengertian bahwa keselamatan itu sekali untuk
selamanya tetapi dalam keselamatan itu ada proses-proses yang harus kita jalani
yang tujuannya menjadi serupa dengan Kristus, yaitu dengan pengudusan setiap
hari (Luk 14:27).
Penulis berusaha untuk mengungkap
masalah-masalah internal yang terjadi didalam gereja yang pelakunya adalah para
pemimpin rohani. Ia mengungkapkan kisah-kisah dimana telah terjadi pelecehan
yang sering kali terselubung dan jarang ada orang yang mau menungkapkannya,
karena beberapa alasan. Dalam bukunya ini, ia mengekspos kisah-kisah yang
menunjukkan bahwa telah terjadi pelecehan dalam gereja. Ia dengan serius
menyatakan bahwa ini adalah masalah yang besar sulit dideteksi dan di
selesaikan karena ini suatu merupakan sebuah system yang begitu sulit untuk
ditembus dan system ini telah menjadi perangkap dimana orang yang menjadi
pelaku dan korban sulit keluar. Ia mengungkapkan bahwa ada begitu banyak para
pemimpin yang terlibat dalam pelecehan ini baik secara langsung maupun tidak
langsung, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam membuktikan tesisnya ia memakai
kasus-kasus yang telah terjadi dan itu baik tetapi tidak semua apa yang
diutarakannya bisa diterima, karena ada sisi negatif dari tulisannya yaitu:
bahwa ia menafsirkan kebebasan, kasih karunia diatas segalanya tanpa dia
melihat adanya tanggung jawab orang percaya dalam kasih karunia dan kebebasan
yang selaras dengan Firman Allah. Pendekatan yang ia lakukan adalah pendekatan
bahwa semua adalah kasih karunia dan seringkali menyampingkan tanggung jawab
manusia sebagai anak Allah, sebagai orang yang harus menghasilkan buah,
menunjukkan buah-biha pertobatan (Lukas 3:8). Ia menekankan masalah hubungan
dengan Tuhan yang berlaku secara pribadi dan tidak bisa diukur, namun
mengesampingkan hal-hal lahiriah dari hubungan tersebut. Karena apa yang ada
dalam hati akan terpancar melalui perbuatan, dan iman tanpa perbuatan pada
hakekatnya mati. Memang disatu sisi ia menentang suatu system yang membuat
orang percaya kembali kedalam hukum taurat, tetapi disisi lain ia meniadakan
sesuatu yang juga penting. Seperti perintah-perintah yang memang dituntut Allah
dari manusia dengan suatu ketaatan mutlak.
Buku ini
juga secara langsung menyerang denominasi yang mengadakan penginjilan untuk
dibawa ke gerejanya. Ia mengkritik bahwa kebanyakan gereja telah ada dalam
system perangkap ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar