Selasa, 05 Mei 2015

Kuasa Terselubung Dari Pelecehan Spiritual



RESENSI BUKU

JUDUL BUKU          : Kuasa Terselubung Dari Pelecehan Spiritual
Penulis                         : David Johnson dan Jeff Van Vonderen
Penerbit                       : Nafiri Gabriel, Jakarta
Tahun Terbit                : 2000
Jumlah Halaman          : 357 Halaman
Warna Cover               :

RINGKASAN

Pelecehan bukan hanya berlaku di luar gereja, pada kenyataanya pelecehan juga terdapat dalam gereja, yang sifatnya terselubung dan jarang muncul kepermukaan bahkan ada banyak orang yang tidak sadar tentang adanya pelecehan dalam gereja. Pelecehan bukan lagi istilah yang hanya berlaku bagi dunia di luar gereja. 
Dalam buku ini penulis menjelaskan bahwa dalam gereja telah terjadi pelecehan baik itu yang diketahui maupun yang terselubung dan jarang di bicarakan atau diangkat kepermukaan. Pelecehan bukan hal yang baru dan menurut penulis yang sering menjadi subjek serta jemaat sebagai objek dari pelecehan. Penulis mengungkapkan bahwa terkadang para pemimpin terperangkap sebagai pelaku pelecahan, karena berbagai factor yang biasanya masalah jabatan, beban agama, citra seorang pemimpin yang harus dipertahankan. Buku ini dibagi kedalam tiga bagian, bagian pertama menjelaskan tentang pelecehan dan korban-korbannya, bagian kedua membahas tentang para pemimpin sebagai pelaku pelecehan dan bagaimana mereka bisa terperangkap. Bagian ketiga Penyembuhan pasca pelecehan.
Bagian pertama dipaparkan pengertian pelecehan yaitu perlakuan yang salah terhadap seseorang yang membutuhkan pertolongan, dukungan atau bantuan spiritual yang lebih besar sehingga menyebabkan melemahnya, menurun,  atau merosotnya kehidupan spiritual orang tersebut. Pelecehan spiritual bisa terjadi bila seseorang pemimpin menggunakan posisi spiritualnya  untuk mengendalikan  atau mendominasi orang lain. Pelecehan spiritual juga bisa terjadi bila spiritual dipakai untuk membuat orang lain hidup menurut suatu standar spiritual.  Menurut penulis istilah yang dipakai yaitu “pelecehan” bukanlah sebuah istilah yang kasar karena menurut pengalamannya penggunaan “pelecehan” dalam bidang konseling dibenarkan dan istilah ini bukan untuk mencemarkan nama orang lain. Sebagai sesuatu yang bukan baru lahir, pelecehan telah mewarnai kisah dalam Perjanjian baru, dengan memakai istilah Ular beludak (Matius 12:34), Serigala yang buas (Matius 7:15), Legalisme (Gal 6:12-13).
 Biasanya yang menjadi korban pelecehan spiritual adalah orang yang mengembangkan citra diri yang salah, memiliki masalah berhubungan dengan otoritas spiritual, memiliki kesulitan mengenai kepercayaan. Dll. Jebakan yang yang sering terjadi dalam pelecehan adalah, perasaan malu yang mencolok, berfokus pada prestasi, penyembahan berhala. Sistem yang bersifat melecehkan adalah sikap seorang pemimpin yang  yang berpusat pada otoritas sendiri dan mengingatkan orang lain tentang hal itu, terikat oleh prestasi, aturan-aturan yang tidak diucapkan, kurang seimbang.
Dengan jebakan-jebakan tersebut akhirnya tidak bisa keluar. dalam pelecehan spiritual selalu berhubungan dengan pemakaian ayat-ayat Alkitab yang tidak pada konteksnya. Menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk dapat mengetahui “tekhnik-tehnik” berbuat benar sehingga berkat Allah tercurah. Memakai ayat supaya jemaat dapat melakukan sesuatu yang menjadi keberhasilan secara rohani. Hidup benar dengan Allah bisa dicapai dengan menjalani Taurat. Allah tidak memberikan hokum taurat sehingga orang bisa berhubungan dengan Allah berdasarkan tingkah lakunya yang sejalan dengan hokum taurat.
Menurut buku ini ada tiga alasan mengapa Allah memberikan Hukum Taurat, pertama: supaya kita dapat melihat bahwa kita telah berdosa, kedua meyakinkan bahwa kita tidak berdaya dengan usaha-usaha kita mencapai sasaran, ketiga membawa kita masuk ke dalam hubungan yang berlimpah kasih karunia dengan Allah atas dasar karya-Nya sendiri melalui Kristus.  Hukum taurat adalah penuntun (tutor) kepada Kristus. Setelah samapi kepada Yesus tidak perlu hokum Taurat. 
Bagian kedua para pemimpin yang melakukan pelecehan spiritual. Banyak pemipin yang legalistic mengendalikan bahkan melecehkan yang telah kehilangan pandangan, atau tidak pernah mengalami hidup dalam kasih karunia. Biasanya yang sering menjadi alasan pemimpin adalah kerena dia seorang pendeta yang diberikan otoritas oleh Allah, sehingga harus didengarkan serta memiliki kuasa. Penulis memaparkan beberapa hal dengan memakai kasus yang terjadi dalam gereja yang merupakan tindakan pelecehan spiritual yamg  salah satunya dengan penggunaan ayat Alkitab yang tidak sesuai dengan konteksnya untuk dijadikan sebagai dasar dalam menguatkan suatu kebenaran.
Pelecehan merupakan suatu perangkap dan jarang orang bisa keluar dari dalamnya, bahkan banyak jemaat yang takut untuk mengekpos bahwa telah terjadi pelecahan terhadap dirinya karena berbagai alasan. Cara-cara pelecehan sampai hari ini tetap sama yaitu: adanya pengabaian terhadap kebutuhan yang sesungguhnya demi terpenuhinya « kebutuhan » otoritas, kemudian legalisme menggantikan kelegaan di dalam Allah dengan tuntutan prestasi spiritual.
Dalam bagian ini meyingkapkan kepada kita masalah lain dalam menempatkan beban tuntutan yang berat keatas diri orang-orang yang sedang bergumul dengan cara menyalahgunakan atau melecehkan ayat-ayat Alkitab, bukannya menggunakan Firman Tuhan sebagai sebilah pedang untuk menusuk atau membedakan pertimbangan dan pikiran kita, banyak pemimpin rohani telah menggunakannya sebagai sebuah tongkat untuk mencegah orang lain, karena berbagai alasan untuk mencegah orang lain menyerahkan  tanggung jawab kepada mereka; untuk membenarkan doktrin yang mendasari seluruh pelayanan; untuk mempertahankan pemasukan dana; untuk membangun kerajaan-kerajaan religius dengan tujuan mendukung harga diri spiritual mereka sendiri. Para pemimpin mengukur kerohanian dengan ketaatannya pada program-program gereja.
Bagian ketiga dari buku menjelaskan bagaimana melepaskan diri dari perangkap pelecehan spiritual. Ia mengganggap bahwa system  bersifat nelecehkan spiritual adalah suatu perangkap spiritual, ia menjelaskan bahwa perangkap adalah sesuatu yang mudah masuk dan sulit keluar, sehingga butuh cara yang tepat untuk bisa keluar. Respon pertama adalah keluar dan kedua berjuang. Ia memberikan beberapa cara seperti pembaharuan pikiran, kembali kepada focus yang benar
Para pemimpin tidak lagi memberikan dirinya untuk kesejahteraan kawanannya, tetapi sebaliknya para pemimpin memamfaatkan  kawanannya untuk kesehjahteraan dirinya sendiri. Para pemimpin bukanya menggunakan kekuatan, ototritas dan pengetahuan mereka untuk membangun, melindungi, dan merawat, tetapi sebaliknya mereka menggunakan kualitas-kualitas itu untuk mengamankan kekuasaaan, kendali, dan pengukuhan mereka sendiri. Penulis  memberi jalan keluar untuk keluar dari perangkap pelecahan yang sedang terjadi.

TANGGAPAN TERHADAP BUKU

A. Kelebihan
a. Sistematis
Dalam penyajiannya, penulis memaparkan secara sistematis dengan membagi tulisan ini dalam tiga bagian, yaitu bagian pertam penulis memaparkan tentan seluk beluk pelecehan spiritual dan korban-korbanya, bagian kedua penulis memaparkan tentang pelaku pelecehan dan alas an-alasan terjadi pelecahan, serta dibagian ketiga yaitu bagian akhir ia memaparkan solusi untuk keluar dari pelecehan Spiritual.

b. Tata Bahasa
Bahasa yang digunakan sederhana dan mudah dimengerti oleh pembaca, sehingga buku ini dapat dikomsumsi oleh semua kalangan. Tidak terlalu banyak menggunakan istlah-istilah asing.

c. Penyampaian
Dalam penyajian penulis mengungkapkan dengan fakta-fakta yang ada, ia memakai kasus-kasus yang sudah terjadi di dalam gereja. Ia berusaha meyakinkan bahwa masalah ini tidak dapat dibiarkan dengan penyajikan kasus-kasus yang tidak bisa dianggap sepele dan dapat dihiraukan. Fakta yang ada membuat buku ini dapat di pertanggungjawabkan dan lebih meyakinkan pembaca tentang telah terjadinya pelecehan dalam lingkungan gereja.

Kelemahan

Penulis menjelaskan dalam uraiannya bahwa keselamatan hanya kasih karunia, bukan karena usaha kita, ia menjelaskan pelecehan terjadi dengan orang menambahkan keselamatan dengan perbuatan baik yaitu setelah beban dosa disingkirkan demi keselamatan, kemudian kita memikul muatan perbuatan pribadi untuk penyucian, pelayanan, menerima berkat yang lebih lanjut (hlm 227).
Menurut pendapat saya pandangannya ini baik di satu sisi bahwa tidak ada usaha manusia dalam hal keselamatan karena Allah yang memberikan dengan cuma-cuma dan kita tidak dapat menambah sesuatupun untuk keselamatan tersebut, tetapi bukan sampai disitu setelah kita selamat bukan berarti akhir dari segalanya kerena Yesus juga berkata orang yang mngikut Dia harus memikul salibnya. Dengan pengertian bahwa keselamatan itu sekali untuk selamanya tetapi dalam keselamatan itu ada proses-proses yang harus kita jalani yang tujuannya menjadi serupa dengan Kristus, yaitu dengan pengudusan setiap hari (Luk 14:27).
Penulis berusaha untuk mengungkap masalah-masalah internal yang terjadi didalam gereja yang pelakunya adalah para pemimpin rohani. Ia mengungkapkan kisah-kisah dimana telah terjadi pelecehan yang sering kali terselubung dan jarang ada orang yang mau menungkapkannya, karena beberapa alasan. Dalam bukunya ini, ia mengekspos kisah-kisah yang menunjukkan bahwa telah terjadi pelecehan dalam gereja. Ia dengan serius menyatakan bahwa ini adalah masalah yang besar sulit dideteksi dan di selesaikan karena ini suatu merupakan sebuah system yang begitu sulit untuk ditembus dan system ini telah menjadi perangkap dimana orang yang menjadi pelaku dan korban sulit keluar. Ia mengungkapkan bahwa ada begitu banyak para pemimpin yang terlibat dalam pelecehan ini baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam membuktikan tesisnya ia memakai kasus-kasus yang telah terjadi dan itu baik tetapi tidak semua apa yang diutarakannya bisa diterima, karena ada sisi negatif dari tulisannya yaitu: bahwa ia menafsirkan kebebasan, kasih karunia diatas segalanya tanpa dia melihat adanya tanggung jawab orang percaya dalam kasih karunia dan kebebasan yang selaras dengan Firman Allah. Pendekatan yang ia lakukan adalah pendekatan bahwa semua adalah kasih karunia dan seringkali menyampingkan tanggung jawab manusia sebagai anak Allah, sebagai orang yang harus menghasilkan buah, menunjukkan buah-biha pertobatan (Lukas 3:8). Ia menekankan masalah hubungan dengan Tuhan yang berlaku secara pribadi dan tidak bisa diukur, namun mengesampingkan hal-hal lahiriah dari hubungan tersebut. Karena apa yang ada dalam hati akan terpancar melalui perbuatan, dan iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati. Memang disatu sisi ia menentang suatu system yang membuat orang percaya kembali kedalam hukum taurat, tetapi disisi lain ia meniadakan sesuatu yang juga penting. Seperti perintah-perintah yang memang dituntut Allah dari manusia dengan suatu ketaatan mutlak.
            Buku ini juga secara langsung menyerang denominasi yang mengadakan penginjilan untuk dibawa ke gerejanya. Ia mengkritik bahwa kebanyakan gereja telah ada dalam system perangkap ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar